Kita seringkali merasakan kebingungan sebagai seorang muslim ketika berhadapan dengan peradaban Barat. Di satu sisi kita dituntut untuk meninggikan Islam, tetapi di sisi lain kita tidak terlepas dari berbagai realitas (fakta) yang bersumber dari Barat, yang notabene sangat memusuhi Islam. Kemudian muncullah berbagai macam asumsi dan berbagai macam pandangan di kalangan umat Islam, misalnya “Katanya menolak Barat, tapi kok pakai teknologi dari Barat?”, “Katanya segala sesuatu yang baru itu bid’ah, tapi kok pakai barang-barang yang ditemukan orang kafir?”. Jika kita tidak berhati-hati dalam masalah ini, tentu kita akan terjebak dalam dualisme pemahaman yang bertolak belakang. Pertanyaannya: Apakah semua hal yang berkaitan dengan Barat harus ditolak? Jika tidak, mana hal-hal yang harus ditolak dan boleh untuk diambil?
Di kala begitu banyak orang mengalami kebingungan untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas dan yang sejenisnya, ada sebuah kajian menarik dari Syaikh Taqiyuddin An Nabhani. Dalam kitabnya Nizhamul Islam, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani membedakan antara hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan mafahim (pemahaman, pandangan hidup) yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan. Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah memiliki sifat khas, tetapi kadang-kadang bersifat umum. Sedangkan madaniyah adalah berkaitan benda-benda hasil teknologi atau hasil peradaban suatu umat tertentu.
Seluruh hadharah yang berasal dari selain Islam hukumnya haram untuk diambil. Mengapa demikian? Sebab ada perbedaan mendasar dari hadharah Islam dan hadharah selain Islam. Hadharah Islam bisa diambil, sebab berpijak dari Alquran dan Sunnah. Sedangkan hadharah Barat, berangat dari selain Alquran dan Sunah. Artinya, hadharah selain Islam bisa berangkat dari pemikiran manusia yang berangkat entah dari mana, yang jelas tidak dari Alquran dan Sunah.
Banyak orang menyatakan bahwa demokrasi itu adalah hadharah Islam, sebab juga ‘diambil’ dari Alquran dan Sunnah. Mereka menyatakan bahwa Islam menghalalkan musyawarah, maka demokrasi pun halal. Pernyataan ini jelas sangat ngawur dan serampangan. Kelihatan sekali, orang yang menyatakannya tidak melihat realitas (fakta) demokrasi dan musyawarah secara menyeluruh, alias setengah-setengah. Mereka mengokohkan pendapat mereka dengan QS. Asy Syura: 37-38. Dalam ayat tersebut terdapat penggalan ayat: Wa amruhum syuuraa bainahum (sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka). Syura yang dimaksud di sini disamakan dengan demokrasi. Ini sebuah kesalahan besar.
Jika ditelusur, demokrasi (kadang-kadang) memang menggunakan musyawarah. Tetapi harus dilihat, asas demokrasi adalah sekulerisme. Inilah yang menjadi permasalahannya. Artinya, asas ‘musyawarah’ demokrasi memang sekuler. Jadi untuk menentukan halal atau haram, dilakukan atau tidak, diputuskan atau tidak, semuanya berdasarkan hawa nafsu manusia, bukan Alquran dan Sunnah. Dan itu semua diambil dengan suara terbanyak. Seolah-olah suara terbanyak mewakili kebaikan semua pihak. Ini jelas tidak benar. Sebab, yang menentukan halal-haram, diputuskan atau tidak sebuah kebijakan, tetap semua berangkat dari Alquran dan Sunnah, bukan dari akal manusia. Jadi, demokrasi bukanlah hadharah Islam, tetapi memang hadharah Barat yang sangat bertentangan dengan Islam. Sebab, asas musyawarah adalah pada Alquran dan Sunnah, bukan kehendak manusia sendiri.
Satu contoh Indonesia. Untuk menentukan apakah riba itu halal atau haram, jelas tidak bisa dilakukan dengan musyawarah. Tetapi dengan dalil-dalil syariah yang berasal dari Alquran dan Sunnah. Tetapi di Indonesia, boleh tidaknya riba ditentukan berdasarkan musyawarah parlemen. Ini jelas tidak benar. Allah telah menegaskan: Wa ahalallaahul bai’a wa harramar ribaa (dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba). Demikian juga sabda Rasulullah: Ar ribaa tsalaatsatun wa sab’uuna baaban, aisaruhaa mitslu an yankiha rajulu ummahu (Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan dosanya adalah seperti seseorang yang mengawini ibunya), hadis riwayat Hakim dan Baihaqi.
Kemudian, untuk menentukan apakah Freeport dan Exxon Mobile Oil boleh mengelola kekayaan alam di Indonesia atau tidak, ternyata selama ini ditentukan oleh kebijakan penguasa (eksekutif) dan disetujui parlemen. Ini tidak benar. Sebab menurut hukum Islam, yang namanya kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak memang milik umum, bukan milik pemerintah (negara) sehingga negara bisa dengan seenaknya jual sana jual sini.
Padahal Rasulullah bersabda: Al muslimuuna syurakaa u fii tsalaatsatin, fil maa i, wal kala i, wannaari (kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, air padang rumput dan api), hadis riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah. ‘Illat kepemilikan umum tersebut adalah sesuatu yang besar (sesuatu yang bersifat bagaikan air mengalir). Berdasarkan hadis ini, sumber daya energi termasuk dalam kepemilikan umum karena dua aspek: yaitu termasuk dalam kata ‘api’ serta ‘tersedia dalam jumlah yang besar. Karena milik umum, maka negara tidak memiliki hak apa pun untuk mengambilnya, apalagi pihak asing. Justru karena dikelola pihak asing itulah kemudian kekayaan alam di negeri ini tidak pernah dirasakan oleh rakyat.
Sedangkan yang kedua, adalah madaniyah. Madaniyah ada dua jenis, yaitu yang bersifat umum dan yang bersifat khas. Yang bersifat umum seperti hasil kemajuan teknologi, hukumnya boleh untuk diambil, sebab tidak mengandung pandangan hidup tertentu yang berlawanan dengan Alquran dan Sunnah. Sebagai contoh komputer. Komputer memang dihasilkan oleh teknologi Barat. Akan tetapi mengambilnya, diperbolehkan. Sebab komputer tidak mengandung pemahaman atau pandangan hidup tertentu. Adakah Anda menemukan komputer memiliki pandangan hidup tertentu? Demikian pula mobil, kendaraan, dan handphone. Termasuk juga berbagai jenis perangkat IT seperti internet, facebook, web browser, twitter; perangkat lunak seperti Windows, Linux, Unix, dan sebagainya. Adakah Anda menemukan pandangan hidup tertentu di dalam benda-benda atau software tersebut?
Hal ini pernah dilakukan Rasulullah dan para sahabat ketika mengambil hasil teknologi dan hasil budaya orang-orang kafir, sebab tidak mengandung pandangan hidup tertentu. Rasulullah pernah menggunakan senjata Dababah dan Manjaniq buatan orang kafir. Dababah adalah sebuah alat tempur yang memiliki moncong berupa kayu besar yang digunakan untuk menggempur pintu benteng musuh. Rasulullah saw. juga pernah menggunakan senjata Manjaniq dalam Perang Khaibar ketika menggempur benteng An Nizar milik Yahudi Bani Khaibar. Manjaniq adalah sebuah ketapel raksasa yang biasa digunakan oleh orang Romawi dalam menggempur lawan.
Demikian pula Rasulullah pernah membuat parit di sekitar kota Madinah dalam Perang Khandaq. Salman Al Farisi, sahabat Rasulullah saw. yang berasal dari Parsi mengusulkan agar di sekeliling kota Madinat digali parit sebagaimana dulu dia pernah membuatnya bersama orang-orang Parsi. Umar bin Khathab, juga pernah mengadopsi berbagai sistem administrasi orang-orang Romawi dan Parsi untuk mengurus sistem administrasi daulah Islamiyah. Adakah Anda menemukan pandangan hidup tertentu dari Dababah, Manjaniq, parit yang dibagung Salman Al Farisi, dan system administrasi Parsi yang diadopsi Umar bin Khathab? Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa hasil peradaban umat selain umat Islam halal untuk diambil selama tidak mengandung pemahaman dan pandangan hidup tertentu.
Sedangkan madaniyah yang bersifat khas tidak boleh diambil. Maksudnya bagaimana? Yaitu hasil peradaban selain Islam yang mengandung pandangan hidup tertentu. Contohnya adalah benda salib. Kaum muslimi tidak boleh mengambilnya atau memakainya dalam keadaan apa pun, sebab memiliki pandangan hidup tertentu. Contoh lain adalah candi dan patung dewa-dewa. Kita tidak diperkenankan untuk mengambil patung-patung dewa Yunani atau Hindu. Sebab hal itu mengandung pandangan hidup tertentu.
Kadang-kadang benda-benda tersebut juga ada di rumah kita tetapi bukan kita yang meletakkan. Mungkin orang tua kita atau yang lainnya. Jika demikian, hendaknya kita mengingatkan dengan baik-baik, jika tidak mau, itu bukan urusan kita. Itu pilihan orang tua kita atau orang lain yang meletakkan benda itu di rumah kita. Kita hanya wajib untuk mengingkarinya, usahakan dengan lisan, jika tidak mampu, tentu dengan hati.
Ada satu lagi pembahasan yang seringkali membuat orang terjebak, apakah ini disebut bid’ah atau bukan. Dalam Kamus Al Munawir, bid’ah berarti menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan dalam kitab Lisanul Arab disebutkan bahwa arti bid’ah adalah setiap hal baru yang diada-adakan.
Sedangkan menurut beberapa ulama, penjelasan tentang bid’ah adalah sebagai berikut.
1. Dalam kitab Mughni Al Muhtaj, Imam Asy Syarbini menyatakan bahwa menurut Imam Syafi’i yang dimaksud dengan al muhdatsah atau sesuatu yang baru dan diada-adakan yang menyalahi Alquran, Sunnah, dan Ijma sahabat, maka termasuk bid’ah yang sesat.
2. Imam Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: bid’ah adalah perbuatan yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw.
3. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dan Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan bahwa bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan, yang tidak mempunyai dasar syar’i yang ditunjukkan dalam syariat, sedangkan yang mempunyai dasar syar’I tidak termasuk bid’ah.
4. Ibnu Taimiyah menyatakan: bid’ah adalah apa-apa yang menyalahi syariat.
5. Imam Asy Syathibi dalam kitab Al I’tisham menyatakan: bid’ah adalah thariqah (tata cara) dalam agama yang dibuat-buat dan sebelumnya belum ada, yang bertentangan dengan syariat, yang atas dasar bid’ah itu, pelakunya berperilaku dan beribadah secara maksimal kepada Allah swt.
Dari berbagai pemahaman ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah setiap perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat, yaitu setiap perbuatan yang menyalahi syariat. Perbuatan semacam ini termasuk dalam sabda Rasulullah saw.: Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun (Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ketentuannya dalam agama kami adalah tertolak), hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
Hanya saja tidak semua perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat atau tidak ada pada masa Rasulullah saw. pasti bid’ah. Terdapat banyak sekali perbuatan-perbuatan yang sebenarnya didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat umum. Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak disebut sebagai bid’ah. Misalnya belajar matematika, belajar IPA, mempelajari nuklir, mempelajari sel-sel makhluk hidup dan tumbuhan, dan sebagainya. Semua perbuatan-perbuatan ini berangkat dari dalil-dalil yang sifatnya umum, yaitu dalil menuntut ilmu.
Demikian pula, pergi rekreasi, menetapkan mahar berupa seperangkat alat salat, cincin, atau Alquran, membangun tempat azan, menyalakan listrik di dalam masjid, memakai pengeras suara ketika azan dan iqamat, dan sebagainya juga bukan merupakan bid’ah.
Semua perbuatan di atas memang tidak dijelaskan secara detail dan terinci, baik pada masa Rasul maupun pada masa sahabat. Tetapi semuanya mencakup dalil-dalil yang sifatnya umum. Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: Sesuatu yang diada-adakan, yang mempunyai asal (pokok) dalam syariat yang menunjukkannya tidaklah termasuk bid’ah.
Jadi, bid;ah adalah perbuatan yang menyalahi syariat. Ini tidak berlaku untuk semua jenis perbuatan, tetapi hanya berlaku pada perbuatan yang telah ditentukan tata cara (kaifiyah) pelaksanaannya oleh syariat.
Sebenarnya, syariat tidak membatasi tata cara (kaifiyah) pelaksanaan perbuatan kecuali dalam masalah ibadah (di luar jihad). Selain dalam masalah ibadah, syariat tidak membatasi tata cara, melainkan hanya menentukan tata cara pengelolaannya (tasharruf). Menyalahi tasharruf yang telah ditentukan syariat, tidak disebut bid’ah, tetapi bisa haram atau makruh dan sebagainya sesuai dalil penunjukan larangannya.
Mendirikan perusahaan saham, tidak termasuk kategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram. Memerangi orang kafir yang belum tersentuh dakwah Islam, bukan bid’ah, tetapi hukumnya tidak boleh. Melukis wanita telanjang, tidak termasuk bid’ah tetapi hukumnya juga tetap tidak boleh. Menganut demokrasi, tidak terkategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram.
Lain halnya dengan ibadah mahdhah. Azan adalah ibadah. Tata caranya telah ditentukan oleh syariat. Manambah satu kata atau kalimat di dalam azan, termasuk bid’ah. Salat subuh itu dua rekaat. Menambah satu rekaat dengan alasan cinta kepada Allah, termasuk bid’ah. Berdoa itu adalah ibadah. Ada dalil yang menyatakan bahwa berdoa itu dengan mengangkat tangan. Ini adalah tata cara spesifik (kaifiyah makhshushah) dalam berdoa. Oleh karena itu, siapa saja yang menyalahinya, misal berdoa dengan mengepalkan tangan atau dengan tangan di pinggang, jelas ini adalah bid’ah. Haram melakukannya.
Berangkat dari hal di atas, kemudian ada orang yang secara serampangan menyatakan “Bukankah keberadaan konsep hadharah dan madaniyah itu sendiri juga baru? Jadi konsep yang digagas Taqiyuddin An Nabhani itu juga bid’ah.”
Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya orang yang menyatakan bahwa hadharah dan madaniyah telah salah dalam memahami fakta. Memang benar, pada masa rasul konsep hadharah dan madaniyah memang belum ada, sebab baru dirumuskan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pada tahun 1950-an. Tetapi perlu kita sadari bersama, bahwa pada masa dulu ilmu-ilmu Islam yang lain juga belum ada. Belum ada ilmu fiqh dan ushul fiqh, belum ada ilmu hadis dan ushul hadis, belum ada ilmu siyasah syar’iyyah dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal-hal baru yang muncul, pada masa dulu para sahabat tidak perlu bingung-bingung dengan konsep hadharah dan madaniyah. Mengapa? Sebab pada masa mereka Rasulullah saw. masih ada. Sehingga jika mereka menemukan hal-hal yang baru, mereka akan langsung menanyakannya kepada Rasulullah.
Atau pada masa tabi’in dan sahabat sepeninggal Rasulullah. Pada masa dulu, jika tabi’in menemukan satu hal yang baru dan tidak bisa memecahkan permasalahannya, maka mereka akan bertanya kepada sahabat yang masih hidup. Begitu seterusnya. Hingga pada masa kontemporer, ketika orang mengalami kebingungan dalam memilih dan memilah, mana yang harus diambil dari peradaban orang-orang Barat, maka Syaikh Taqiyuddin pun segera melakukan ijtihad, dan dihasilkanlah sebuah konsep yaitu hadharah dan madaniyah. Hadharah yang wajib diambil hanyalah hadharah Islam, dan hadharah selain Islam wajib ditolak. Sedangkan madaniyah juga harus dilihat dengan seksama, jika bersifat umum maka boleh diambil, jika bersifat khas, maka tidak boleh diambil. Demikianlah..
Jadi, jika kita mau berpikir objektif, tidak perlu melihat siapa yang menyampaikan. Mari kita melihat, apa yang disampaikan. Jika apa yag disampaikan memang benar dan memiliki hujjah yang kuat, mengapa tidak kita ambil? Jika kita memiliki pendapat A, dan kemudian datang pendapat B dengan hujjah yang lebih kuat, mengapa kita masih mempertahankan yang A padahal ada hujjah yang lebih kuat, yaitu pendapat B? Sepertinya, setiap orang perlu jujur kepada diri sendiri. Tidak penting, orang itu berasal dari gerakan Islam mana. Jika memang lebih kuat, tentu harus diambil dan menyepakati pendapat yang lebih kuat tersebut dan membenarkannya.
Kita semua perlu mengakui kebenaran kata-kata Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, “Kewajiban yang kita miliki, lebih banyak daripada waktu yang tersedia.” Walaupun saya tidak menjadi pengikut beliau di gerakan Ikhwanul Muslimin, tetapi saya mengakui betul bahwa kata-kata tersebut memang benar, dan sangat benar. Mengapa? Sebab, realitasnya memang demikian. Kewajiban umat Islam memang sangat banyak (terlepas dari qadhiyah mashiriyahnya), sedangkan waktu yang ada sangat sedikit.
Oleh karena itu, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang memegang teguh prinsip kebenaran. Melihat kebenaran dari kebenaran itu sendiri, bukan dari orang atau yang lainn
Semoga bermanfaat..
Di kala begitu banyak orang mengalami kebingungan untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas dan yang sejenisnya, ada sebuah kajian menarik dari Syaikh Taqiyuddin An Nabhani. Dalam kitabnya Nizhamul Islam, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani membedakan antara hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan mafahim (pemahaman, pandangan hidup) yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan. Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah memiliki sifat khas, tetapi kadang-kadang bersifat umum. Sedangkan madaniyah adalah berkaitan benda-benda hasil teknologi atau hasil peradaban suatu umat tertentu.
Seluruh hadharah yang berasal dari selain Islam hukumnya haram untuk diambil. Mengapa demikian? Sebab ada perbedaan mendasar dari hadharah Islam dan hadharah selain Islam. Hadharah Islam bisa diambil, sebab berpijak dari Alquran dan Sunnah. Sedangkan hadharah Barat, berangat dari selain Alquran dan Sunah. Artinya, hadharah selain Islam bisa berangkat dari pemikiran manusia yang berangkat entah dari mana, yang jelas tidak dari Alquran dan Sunah.
Banyak orang menyatakan bahwa demokrasi itu adalah hadharah Islam, sebab juga ‘diambil’ dari Alquran dan Sunnah. Mereka menyatakan bahwa Islam menghalalkan musyawarah, maka demokrasi pun halal. Pernyataan ini jelas sangat ngawur dan serampangan. Kelihatan sekali, orang yang menyatakannya tidak melihat realitas (fakta) demokrasi dan musyawarah secara menyeluruh, alias setengah-setengah. Mereka mengokohkan pendapat mereka dengan QS. Asy Syura: 37-38. Dalam ayat tersebut terdapat penggalan ayat: Wa amruhum syuuraa bainahum (sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka). Syura yang dimaksud di sini disamakan dengan demokrasi. Ini sebuah kesalahan besar.
Jika ditelusur, demokrasi (kadang-kadang) memang menggunakan musyawarah. Tetapi harus dilihat, asas demokrasi adalah sekulerisme. Inilah yang menjadi permasalahannya. Artinya, asas ‘musyawarah’ demokrasi memang sekuler. Jadi untuk menentukan halal atau haram, dilakukan atau tidak, diputuskan atau tidak, semuanya berdasarkan hawa nafsu manusia, bukan Alquran dan Sunnah. Dan itu semua diambil dengan suara terbanyak. Seolah-olah suara terbanyak mewakili kebaikan semua pihak. Ini jelas tidak benar. Sebab, yang menentukan halal-haram, diputuskan atau tidak sebuah kebijakan, tetap semua berangkat dari Alquran dan Sunnah, bukan dari akal manusia. Jadi, demokrasi bukanlah hadharah Islam, tetapi memang hadharah Barat yang sangat bertentangan dengan Islam. Sebab, asas musyawarah adalah pada Alquran dan Sunnah, bukan kehendak manusia sendiri.
Satu contoh Indonesia. Untuk menentukan apakah riba itu halal atau haram, jelas tidak bisa dilakukan dengan musyawarah. Tetapi dengan dalil-dalil syariah yang berasal dari Alquran dan Sunnah. Tetapi di Indonesia, boleh tidaknya riba ditentukan berdasarkan musyawarah parlemen. Ini jelas tidak benar. Allah telah menegaskan: Wa ahalallaahul bai’a wa harramar ribaa (dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba). Demikian juga sabda Rasulullah: Ar ribaa tsalaatsatun wa sab’uuna baaban, aisaruhaa mitslu an yankiha rajulu ummahu (Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan dosanya adalah seperti seseorang yang mengawini ibunya), hadis riwayat Hakim dan Baihaqi.
Kemudian, untuk menentukan apakah Freeport dan Exxon Mobile Oil boleh mengelola kekayaan alam di Indonesia atau tidak, ternyata selama ini ditentukan oleh kebijakan penguasa (eksekutif) dan disetujui parlemen. Ini tidak benar. Sebab menurut hukum Islam, yang namanya kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak memang milik umum, bukan milik pemerintah (negara) sehingga negara bisa dengan seenaknya jual sana jual sini.
Padahal Rasulullah bersabda: Al muslimuuna syurakaa u fii tsalaatsatin, fil maa i, wal kala i, wannaari (kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, air padang rumput dan api), hadis riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah. ‘Illat kepemilikan umum tersebut adalah sesuatu yang besar (sesuatu yang bersifat bagaikan air mengalir). Berdasarkan hadis ini, sumber daya energi termasuk dalam kepemilikan umum karena dua aspek: yaitu termasuk dalam kata ‘api’ serta ‘tersedia dalam jumlah yang besar. Karena milik umum, maka negara tidak memiliki hak apa pun untuk mengambilnya, apalagi pihak asing. Justru karena dikelola pihak asing itulah kemudian kekayaan alam di negeri ini tidak pernah dirasakan oleh rakyat.
Sedangkan yang kedua, adalah madaniyah. Madaniyah ada dua jenis, yaitu yang bersifat umum dan yang bersifat khas. Yang bersifat umum seperti hasil kemajuan teknologi, hukumnya boleh untuk diambil, sebab tidak mengandung pandangan hidup tertentu yang berlawanan dengan Alquran dan Sunnah. Sebagai contoh komputer. Komputer memang dihasilkan oleh teknologi Barat. Akan tetapi mengambilnya, diperbolehkan. Sebab komputer tidak mengandung pemahaman atau pandangan hidup tertentu. Adakah Anda menemukan komputer memiliki pandangan hidup tertentu? Demikian pula mobil, kendaraan, dan handphone. Termasuk juga berbagai jenis perangkat IT seperti internet, facebook, web browser, twitter; perangkat lunak seperti Windows, Linux, Unix, dan sebagainya. Adakah Anda menemukan pandangan hidup tertentu di dalam benda-benda atau software tersebut?
Hal ini pernah dilakukan Rasulullah dan para sahabat ketika mengambil hasil teknologi dan hasil budaya orang-orang kafir, sebab tidak mengandung pandangan hidup tertentu. Rasulullah pernah menggunakan senjata Dababah dan Manjaniq buatan orang kafir. Dababah adalah sebuah alat tempur yang memiliki moncong berupa kayu besar yang digunakan untuk menggempur pintu benteng musuh. Rasulullah saw. juga pernah menggunakan senjata Manjaniq dalam Perang Khaibar ketika menggempur benteng An Nizar milik Yahudi Bani Khaibar. Manjaniq adalah sebuah ketapel raksasa yang biasa digunakan oleh orang Romawi dalam menggempur lawan.
Demikian pula Rasulullah pernah membuat parit di sekitar kota Madinah dalam Perang Khandaq. Salman Al Farisi, sahabat Rasulullah saw. yang berasal dari Parsi mengusulkan agar di sekeliling kota Madinat digali parit sebagaimana dulu dia pernah membuatnya bersama orang-orang Parsi. Umar bin Khathab, juga pernah mengadopsi berbagai sistem administrasi orang-orang Romawi dan Parsi untuk mengurus sistem administrasi daulah Islamiyah. Adakah Anda menemukan pandangan hidup tertentu dari Dababah, Manjaniq, parit yang dibagung Salman Al Farisi, dan system administrasi Parsi yang diadopsi Umar bin Khathab? Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa hasil peradaban umat selain umat Islam halal untuk diambil selama tidak mengandung pemahaman dan pandangan hidup tertentu.
Sedangkan madaniyah yang bersifat khas tidak boleh diambil. Maksudnya bagaimana? Yaitu hasil peradaban selain Islam yang mengandung pandangan hidup tertentu. Contohnya adalah benda salib. Kaum muslimi tidak boleh mengambilnya atau memakainya dalam keadaan apa pun, sebab memiliki pandangan hidup tertentu. Contoh lain adalah candi dan patung dewa-dewa. Kita tidak diperkenankan untuk mengambil patung-patung dewa Yunani atau Hindu. Sebab hal itu mengandung pandangan hidup tertentu.
Kadang-kadang benda-benda tersebut juga ada di rumah kita tetapi bukan kita yang meletakkan. Mungkin orang tua kita atau yang lainnya. Jika demikian, hendaknya kita mengingatkan dengan baik-baik, jika tidak mau, itu bukan urusan kita. Itu pilihan orang tua kita atau orang lain yang meletakkan benda itu di rumah kita. Kita hanya wajib untuk mengingkarinya, usahakan dengan lisan, jika tidak mampu, tentu dengan hati.
Ada satu lagi pembahasan yang seringkali membuat orang terjebak, apakah ini disebut bid’ah atau bukan. Dalam Kamus Al Munawir, bid’ah berarti menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan dalam kitab Lisanul Arab disebutkan bahwa arti bid’ah adalah setiap hal baru yang diada-adakan.
Sedangkan menurut beberapa ulama, penjelasan tentang bid’ah adalah sebagai berikut.
1. Dalam kitab Mughni Al Muhtaj, Imam Asy Syarbini menyatakan bahwa menurut Imam Syafi’i yang dimaksud dengan al muhdatsah atau sesuatu yang baru dan diada-adakan yang menyalahi Alquran, Sunnah, dan Ijma sahabat, maka termasuk bid’ah yang sesat.
2. Imam Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: bid’ah adalah perbuatan yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw.
3. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dan Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan bahwa bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan, yang tidak mempunyai dasar syar’i yang ditunjukkan dalam syariat, sedangkan yang mempunyai dasar syar’I tidak termasuk bid’ah.
4. Ibnu Taimiyah menyatakan: bid’ah adalah apa-apa yang menyalahi syariat.
5. Imam Asy Syathibi dalam kitab Al I’tisham menyatakan: bid’ah adalah thariqah (tata cara) dalam agama yang dibuat-buat dan sebelumnya belum ada, yang bertentangan dengan syariat, yang atas dasar bid’ah itu, pelakunya berperilaku dan beribadah secara maksimal kepada Allah swt.
Dari berbagai pemahaman ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah setiap perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat, yaitu setiap perbuatan yang menyalahi syariat. Perbuatan semacam ini termasuk dalam sabda Rasulullah saw.: Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun (Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ketentuannya dalam agama kami adalah tertolak), hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
Hanya saja tidak semua perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat atau tidak ada pada masa Rasulullah saw. pasti bid’ah. Terdapat banyak sekali perbuatan-perbuatan yang sebenarnya didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat umum. Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak disebut sebagai bid’ah. Misalnya belajar matematika, belajar IPA, mempelajari nuklir, mempelajari sel-sel makhluk hidup dan tumbuhan, dan sebagainya. Semua perbuatan-perbuatan ini berangkat dari dalil-dalil yang sifatnya umum, yaitu dalil menuntut ilmu.
Demikian pula, pergi rekreasi, menetapkan mahar berupa seperangkat alat salat, cincin, atau Alquran, membangun tempat azan, menyalakan listrik di dalam masjid, memakai pengeras suara ketika azan dan iqamat, dan sebagainya juga bukan merupakan bid’ah.
Semua perbuatan di atas memang tidak dijelaskan secara detail dan terinci, baik pada masa Rasul maupun pada masa sahabat. Tetapi semuanya mencakup dalil-dalil yang sifatnya umum. Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: Sesuatu yang diada-adakan, yang mempunyai asal (pokok) dalam syariat yang menunjukkannya tidaklah termasuk bid’ah.
Jadi, bid;ah adalah perbuatan yang menyalahi syariat. Ini tidak berlaku untuk semua jenis perbuatan, tetapi hanya berlaku pada perbuatan yang telah ditentukan tata cara (kaifiyah) pelaksanaannya oleh syariat.
Sebenarnya, syariat tidak membatasi tata cara (kaifiyah) pelaksanaan perbuatan kecuali dalam masalah ibadah (di luar jihad). Selain dalam masalah ibadah, syariat tidak membatasi tata cara, melainkan hanya menentukan tata cara pengelolaannya (tasharruf). Menyalahi tasharruf yang telah ditentukan syariat, tidak disebut bid’ah, tetapi bisa haram atau makruh dan sebagainya sesuai dalil penunjukan larangannya.
Mendirikan perusahaan saham, tidak termasuk kategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram. Memerangi orang kafir yang belum tersentuh dakwah Islam, bukan bid’ah, tetapi hukumnya tidak boleh. Melukis wanita telanjang, tidak termasuk bid’ah tetapi hukumnya juga tetap tidak boleh. Menganut demokrasi, tidak terkategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram.
Lain halnya dengan ibadah mahdhah. Azan adalah ibadah. Tata caranya telah ditentukan oleh syariat. Manambah satu kata atau kalimat di dalam azan, termasuk bid’ah. Salat subuh itu dua rekaat. Menambah satu rekaat dengan alasan cinta kepada Allah, termasuk bid’ah. Berdoa itu adalah ibadah. Ada dalil yang menyatakan bahwa berdoa itu dengan mengangkat tangan. Ini adalah tata cara spesifik (kaifiyah makhshushah) dalam berdoa. Oleh karena itu, siapa saja yang menyalahinya, misal berdoa dengan mengepalkan tangan atau dengan tangan di pinggang, jelas ini adalah bid’ah. Haram melakukannya.
Berangkat dari hal di atas, kemudian ada orang yang secara serampangan menyatakan “Bukankah keberadaan konsep hadharah dan madaniyah itu sendiri juga baru? Jadi konsep yang digagas Taqiyuddin An Nabhani itu juga bid’ah.”
Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya orang yang menyatakan bahwa hadharah dan madaniyah telah salah dalam memahami fakta. Memang benar, pada masa rasul konsep hadharah dan madaniyah memang belum ada, sebab baru dirumuskan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pada tahun 1950-an. Tetapi perlu kita sadari bersama, bahwa pada masa dulu ilmu-ilmu Islam yang lain juga belum ada. Belum ada ilmu fiqh dan ushul fiqh, belum ada ilmu hadis dan ushul hadis, belum ada ilmu siyasah syar’iyyah dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal-hal baru yang muncul, pada masa dulu para sahabat tidak perlu bingung-bingung dengan konsep hadharah dan madaniyah. Mengapa? Sebab pada masa mereka Rasulullah saw. masih ada. Sehingga jika mereka menemukan hal-hal yang baru, mereka akan langsung menanyakannya kepada Rasulullah.
Atau pada masa tabi’in dan sahabat sepeninggal Rasulullah. Pada masa dulu, jika tabi’in menemukan satu hal yang baru dan tidak bisa memecahkan permasalahannya, maka mereka akan bertanya kepada sahabat yang masih hidup. Begitu seterusnya. Hingga pada masa kontemporer, ketika orang mengalami kebingungan dalam memilih dan memilah, mana yang harus diambil dari peradaban orang-orang Barat, maka Syaikh Taqiyuddin pun segera melakukan ijtihad, dan dihasilkanlah sebuah konsep yaitu hadharah dan madaniyah. Hadharah yang wajib diambil hanyalah hadharah Islam, dan hadharah selain Islam wajib ditolak. Sedangkan madaniyah juga harus dilihat dengan seksama, jika bersifat umum maka boleh diambil, jika bersifat khas, maka tidak boleh diambil. Demikianlah..
Jadi, jika kita mau berpikir objektif, tidak perlu melihat siapa yang menyampaikan. Mari kita melihat, apa yang disampaikan. Jika apa yag disampaikan memang benar dan memiliki hujjah yang kuat, mengapa tidak kita ambil? Jika kita memiliki pendapat A, dan kemudian datang pendapat B dengan hujjah yang lebih kuat, mengapa kita masih mempertahankan yang A padahal ada hujjah yang lebih kuat, yaitu pendapat B? Sepertinya, setiap orang perlu jujur kepada diri sendiri. Tidak penting, orang itu berasal dari gerakan Islam mana. Jika memang lebih kuat, tentu harus diambil dan menyepakati pendapat yang lebih kuat tersebut dan membenarkannya.
Kita semua perlu mengakui kebenaran kata-kata Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, “Kewajiban yang kita miliki, lebih banyak daripada waktu yang tersedia.” Walaupun saya tidak menjadi pengikut beliau di gerakan Ikhwanul Muslimin, tetapi saya mengakui betul bahwa kata-kata tersebut memang benar, dan sangat benar. Mengapa? Sebab, realitasnya memang demikian. Kewajiban umat Islam memang sangat banyak (terlepas dari qadhiyah mashiriyahnya), sedangkan waktu yang ada sangat sedikit.
Oleh karena itu, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang memegang teguh prinsip kebenaran. Melihat kebenaran dari kebenaran itu sendiri, bukan dari orang atau yang lainn
Semoga bermanfaat..